CERITA LIMA TAHUN LALU.... (1)
Cerita
ini berawal dari kira-kira lima tahun yang lalu. Masih jelas diingatan bahwa
aku masuk ke sekolah yang sama sekali tidak aku inginkan, sama sekali tidak ada
dalam bayanganku, sama sekali tidak ada dalam impianku. Ya, aku masuk ke
sekolah kelas dua di kotaku. Bukan tanpa alasan aku masuk ke sekolah ini, semua
akibat dari peraturan pemerintah daerah yang menerapkan rayonisasi tempat
tinggal untuk penyaringan masuk ke sekolah negeri. Wilayah tempat tinggal yang
satu rayon dengan sekolah memiliki kuota siswa sebesar 60% dari keseluruhan
jumlah murid, luar rayon sebesar 30%, dan luar kota sebesar 10%.
Berbekal
nilai UN sebesar 27,4 dengan rata-rata 9 koma dan nilai matematika 10 di tangan
aku dengan percaya mendaftarkan diri ke SMA negeri nomer satu di kotaku,
almamater kakakku. Peraturan pemerintah memberikan peluang kepada calon siswa
untuk dapat memilih dua sekolah. Aku menempatkan SMA 3 Semarang sebagai pilihan
pertamaku walaupun tak satu rayon dengan tempat tinggalku, tentu saja, ini
sekolah negeri nomer satu di Kota Semarang. Sebagai pilihan kedua aku
menempatkan SMA 2 Semarang yang satu rayon dengan rumah tinggalku.
Hari
dari hari aku memantau perkembangan nilai dan jumlah siswa yang mendaftar ke
SMA 3, kuota dalam rayon masih belum terpenuhi dan rata-rata nilai yang masuk
cukup rendah. Hal lain tak berlaku untuk kuota luar rayon dan luar kota,
jumlahnya sangat membludak melebihi kuota serta dengan nilai yang sangat
tinggi, rata-rata nilai 28 koma di dalamnya.
Sampailah
pada hari pengumuman, dari pagi aku sudah menuju SMA 3 melihat papan
pengumuman, ternyata nilaiku tak bisa masuk ke dalam kuota luar rayon, nilai
terendah luar rayon adalah 27,67 berbeda tipis 0,27 dengan nilaiku. Dibuanglah
namaku ke SMA 2, dan ya aku diterima menjadi murid di sini. Sebenarnya yang
sungguh menyesakkan adalah nilai terendah yang diterima di dalam rayon SMA 3
hanya 18 koma, rata-rata hanya 6, bisa dibayangkan?
Baiklah,
aku terima nasib yang membawaku ke sekolah ini, SMA 2, sekolah yang sama sekali
tak ada dalam harapanku. Murung dan sedih menjadi keseharianku setelah ditolak
dari SMA yang aku impikan. Adik lelaki dan ibuku sampai berkata “Kamu ini
kurang bersyukur, banyak murid-murid lain yang ga bisa diterima di SMA negeri,
kamu keterima di SMA 2 ga ada syukurnya sama sekali.” Ya baiklah, mulai aku
singkirkan rasa murung dan sedih itu dari diriku.
Waktunya
Sekolah....
Aku
masuk sekolah dengan perasaan biasa saja, agak senang juga karena cukup banyak
teman SMPku yang juga terdampar di sekolah ini. Di sinilah masa suramku sebagai
pelajar SMA dimulai. Orang-orang bilang salah pergaulan. Ya, bisa dibilang aku
salah bergaul, dan salah mendapatkan teman. Di kelas aku duduk di bangku yang “suram”
bersama teman-teman lelaki yang tak punya motivasi belajar dan terima nilai apa
adanya. Tak ada usaha sama sekali untuk berprestasi. SAMA, aku pun juga
tertular begitu. Menjadi peringkat ketiga terbawah pernah aku alami. Bodoh
sekali kalau dipikir. Aku tak pernah bisa menyerap apa yang guruku jelaskan di
depan kelas. Semua nilaiku jeblok, pelajaran IPA terutama.
Kejadian
unik yang terjadi di kelas, saat membagi hasil nilai usai ujian tengah
semester. Aku yang membaginya, terlihat perbedaan yang sangat jelas.
Murid-murid yang duduk di bangku pojokan kanan mendapat nilai cukup memuaskan,
diatas angka 8. Murid-murid di bangku tengah mendapat nilai 6 sampai 7. Dan
murid-murid di bangku pojokan kiri, dimana aku ada di situ rata-rata mendapat
nilai di bawah 5!
Di
semester awal ini masih ada toleransi dalam diriku bahwa ini bukan sekolah yang
aku inginkan jadi ya terserah aku, aku malas untuk berprestasi. Ibuku agak
khawatir dengan nilai-nilaiku ini. Tapi ayahku berpikir lain, prestasi
menunjukkan kemampuan, kalau prestasiku seperti itu ya berarti memang
kemampuanku segitu. Sebagai murid aku TERPURUK!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar