Minggu, 01 November 2015

Merantaulah, Nak...

Merantaulah, Nak....

Orang tuaku dikaruniai 3 orang anak dengan komposisi laki-laki, perempuan, laki-laki. Sedari kecil aku dan adikku dilatih untuk menjadi mandiri. Sesungguhnya ini bukan karena metode melatih anak untuk mandiri, tapi boleh dibilang ini by accident dikarenakan Bapak harus mencari nafkah di luar kota dan hanya pulang 2 pekan sekali. Otomatis sehari-hari kita memang hidup tanpa Bapak. Bagi kami, hari dengan Bapak adalah suatu kemewahan dan pasti kami memanfaatkannya untuk minta ditemani jalan-jalan, terutama aku dan adikku. Saat itu kami hanya menumpang becak karena jarak rumah ke pusat perbelanjaan hanya berjarak 2KM.

Segala tetek bengek tentang sekolah menjadi urusan Ibu dan kami sendiri sebagai subjeknya. Bapak tidak pernah menyuruh-nyuruh kami belajar ataupun les. Ibu yang punya peran besar di sini. Mengarahkan putra-putrinya untuk masuk ke sekolah unggulan di kota kami. Menjejali kami dengan privat matematika sedari kelas 5 SD, ternyata cara ini berhasil menaikkan tingkat IQ kami, karena menurut ibu dasar dari segala ilmu adalah matematika.

Mulai dari SMP hingga SMA kami selalu diarahkan Ibu untuk masuk sekolah-sekolah unggulan seperti SMP 2 dan SMA 3, tapi sayang saya gagal masuk SMA 3. Selepas SMA barulah Ibu memberi kebebasan kepada kami untuk memilih kampus dan jurusan yang kami inginkan. Namun, laksana isyarat, Ibu seperti menyuruh kami untuk tidak tinggal di Semarang lagi, kami harus merantau. Dan benar, kami bertiga tidak ada yang kuliah di Semarang. Bahkan saya sebagai anak perempuan satu-satunya pun tak ragu dilepaskan Ibu untuk merantau di luar kota. Walau tak jarang Ibu merasa kesepian karena sendirian di rumah, dan saat itu ada 5 dapur di rumah tangga Bapak dan Ibu.

Kalau bisa dikata, keluarga saya memang keluarga perantau. Bapak sampai akhir hayatnya banyak dihabiskan di perantauan, Mas Iwan sudah menjelajah 5 kota, Dek Wiwid 3 kota, dan saya sendiri 4 kota. Hanya Ibu saya yang selalu tinggal di Semarang hingga kini. Tapi jangan salah, Ibu juga sering kali melakukan perjalanan ke luar kota hingga berhari-hari seorang diri.

Hidup merantau mengajarkan agar kita harus beradaptasi dengan cepat di lingkungan baru, membuka tangan untuk orang-orang baru,  belajar budaya-budaya baru, dan belajar mengatur keuangan sendiri. Bagaimana kita bisa mengatur keuangan kita agar cukup untuk membeli makan, membeli peralatan kebersihan, membeli segala perlengkapan kuliah atau kerja, untuk PULANG, dan beli baju, sepatu, dan make up bila sisa. Dan cuma perantau yang bisa merasakan bahwa PULANG itu MAHAL.

Kalau punya anak nanti, saya harus ajarkan kemandirian kepadanya, dan kamu harus merantau, Nak!

Minggu, 25 Oktober 2015

Trip Pantai Cimaja bareng BigBird


Penat dengan rutinitas kantor, kami memutuskan untuk rehat sejenak dengan menikmati pemandangan pantai di sela-sela liburan weekend kami. Setelah berdiskusi panjang akhirnya kami memutuskan untuk menuju Pantai Cimaja yang terletak beberapa kilometer dari Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Tanggal diputuskan, lokasi juga sudah mendapat keputusan, namun transportasi unutk menuju ke sana belum terlihat juga hilalnya. Bahkan sampai H-2 pun kita belum mendapat kendaraan untuk menuju ke Pantai Cimaja.

Transportasi
Setelah mencari informasi ke sana ke mari, berdasarkan rekomendasi teman, akhirnya kami memutuskan untuk memesan bus online via bluebird reservation yang ternyata bisa melayani selama 24 jam sehari. Tanpa perlu datang ke kantornya, reservasi transportasi via online ini sangat membantu sekali. Apalagi ternyata ada diskon 15% jika melakukan pembayaran dengan kartu kredit.
Kira-kira begini tampilan websitenya:

Tepat H-1 tanggal tanggal 15 Oktober 2015, kami mendapatkan armada bus BigBird dengan drivernya Pak Budiyanto, dan kita janjian untuk bertemu di titik kumpul, RS Aini Setiabudi pukul 4.30 tanggal 16 Oktober 2015.

Perjalanan dari Jakarta menuju Pantai Cimaja dapat ditempuh selama 6 jam perjalanan. Dengan medan yang cukup berkelak kelok saat menuju pantainya, Pak Budiyanto dapat mengemudikan armadanya dengan baik, sehingga kami sebagai penumpang juga merasa aman dan nyaman.


Penginapan 
Sampai di Cimaja, kami menginap di Karang Aji Beach Villa. Villa ini cukup rock n roll dengan posisi di atas bukit kami harus mendaki bukit dengan tingkat kecuraman kira-kira 45 derajat. Tapi setelah sampai di villanya kita bisa mendapatkan pemandangan eksotis pantai dari atas bukit. Begini kira-kira penampakan di dalam Karang Aji Beach Villa. Villa yang cukup nyaman dengan rate kamar yang standar antara Rp 350.000-Rp 650.000 per malamnya.

Honeymoon suit, kamar yang terletak di ujung depan vila, berhadapan langsung dengan pemandangan pantai dari atas bukit.

Kuliner
Untuk kuliner di Pantai Cimaja, kami coba untuk mencicip beberapa makanan di Cimaja Square. Resto ini menghadirkan beberapa pilihan menu untuk pasta, makanan Western, Asia, dan seafood yang disajikan dengan cantik dan tentu rasanya enak. Dan ternyata pemilik dari retoran ini adalah duo kakak beradik Bucek Deep dan Fathir.

Pantai Sunset Beach
Berdasarkan rekomendasi dari Fathir, kami mengunjungi Pantai Sunset Beach untuk menikmati pantai sore itu. Suasana pantai tidak terlalu ramai dengan garis pantai yang panjang serta tumpukan bebatuan di ujung pantai yang pas untuk menjadi objek foto-foto. Kata Fathir, di bulan-bulan saat ombak tinggi, banyak surfer yang bermain di pantai ini baik surfer lokal maupun internasional. Pasir di pantai ini putih dan ombaknya cukup kencang untuk kita bermain air. Lumayan memberi vitamin pada jiwa-jiwa yang butuh piknik.

Demikian secuil cerita piknik kami ke Pantai Cimaja bareng Big Bird. Terima kasih Big Bird atas kemudahan reservasi onlinenya.

Rabu, 07 Oktober 2015

Kehilanganmu, Bapak..

Kehilanganmu, Bapak..

Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya lah kami kembali...

Kehilanganmu, Bapak, membuat saya memutar kembali memori-memori masa lampau, mencermati setiap sudut rumah. Begitu banyak seni yang kau hasilkan di sana. Masih membekas di pikiran saat Bapak setiap bulan hanya pulang 2 minggu sekali di hari Sabtu dan Minggu karena tuntutan pekerjaan untuk menafkahi kami sekeluarga.

Gurat-gurat tua dan lelah mulai terlihat beberapa tahun terakhir ini, tapi Bapak masih saja bekerja. Seperti Bapak bilang "saya mau bekerja sampai mati". Dan itu menjadi nyata. Sampai di usia 60 tahun, beberapa hari sebelum jatuh sakit, Bapak masih memegang sebuah proyek baru di Kudus.

Masih ada banyak harapan Ririn buat Bapak. Betapa inginnya anak perempuan satu-satunya Bapak ini dinikahkan oleh Bapak. Merenovasi rumah untuk Bapak dan Ibu agar lebih nyaman untuk masa tuanya. Memberikan cucu untuk Bapak. Rasanya kurang cukup waktumu di dunia ini, Bapak.

Kini, bahkan saat rindu pun, Ririn tidak bisa menemukan sosokmu lagi, Bapak. Ternyata, begitu sakitnya rasa kehilangan yang tidak bisa bertemu lagi.

Selamat jalan, Bapak. Kami selalu mendoakanmu.