Selasa, 25 November 2014

2015 Di Depan Mata


                Tahun 2014 sudah akan berakhir. Apakabar resolusi yang kamu tulis di tahun 2013? Sudahkan kau temukan solusinya? Pencapaian-pencapaian apa yang sudah kamu raih? Atau kegagalan-kegagalan apa yang telah kamu alami? Satu tahun bisa menjadi waktu yang panjang, bisa juga menjadi teramat singkat hingga kamu butuh perpanjangan waktu. Saat sedang mengejar target-targetmu selama satu tahun, waktu satu tahun aku rasa tak akan pernah cukup, tiba-tiba setengah tahun telah terlewati saja dan bahkan targetmu itu belum tercapai setengahnya. Ambisimu tetap menjadi bahan bakar utama dalam mencapai target. Tapi ambisi tak selamanya membara, terkadang amunisi habis karena terlalu digeber di awal jalan. Kemana kamu mencari amunisimu?

                Tahun 2015 sudah di depan mata. Bagaimana rencana dan targetmu tahun ini? Apakah akan kau selesaikan dulu target dan rencana tahun kemarin yang belum tuntas? Atau segera memutar setir untuk menggantinya dengan rencana dan target yang baru? Hari ini, saya baru membaca artikel tentang rencana dan target-target manusia yang dibedakan dari rentang umur. Usia 14-16 tahun, 17-20 tahun, 20-24 tahun, dan usia 25 tahun ke atas tentang target di usia 25. Pada rentang usia 14-16 tahun mereka berpikir bahwa di usia 25 mereka akan sukses dengan bisnis-bisnis yang mereka jalankan. Usia 17-21 tahun berkata seputar dunia kuliah dan pendidikan, lulus tepat waktu dengan IPK yang tinggi, serta melanjutkan pendidikan. Usia 22-24 banyak berkata tentang target-target hidup yang lebih rigit seperti memiliki rumah dan mobil pribadi, dan yang pasti menikah sebelum usia 25 tahun. Usia 25 banyak dari mereka yang sudah mapan secara financial, namun belum menikah. Pendapat-pendapat dari mereka mengingatkan kita bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai rencana. Bisa baca di link ini ya target hidup sebelum usia 25 Jadi bagaimana? Ada banyak hal yang pasti bisa dicapai dengan usaha dan kerja keras, namun ada juga yang waktunya menyesuaikan takdir Ilahi.


                Oia, hari ini tanggal 25 November bertepatan dengan hari guru. Selamat Hari Guru Ibu Bapak Guru, terima kasih telah mendidik putra putri bangsa. Di tanganmu lah karakter penerus bangsa dibentuk. Terima kasih Guru.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Tentang Anak Perempuan

Saya kadang suka iri dengan kakak dan adik saya yang semuanya laki-laki. Mereka bisa bebas pergi kemana saja, dengan siapa saja, dan pulang jam berapa pun, hanya bermodal cium tangan bapak ibu. Nah saya, kalau mau pergi harus izin dulu beberapa jam sebelum, pakai pertanyaan lengkap mau kemana, sama siapa, naik apa, pulang jam berapa. Belom lagi kalau sedang asyik main sama teman-teman handpone berdering dan dilanjutkan dengan pertanyaan "Mbak, lagi dimana? Lagi ngapain? Kok belum pulang?"

Sebagai anak perempuan, saya juga merasa ada banyak sekali hal yang mesti di jaga, mulai dari pakaian yang menutup aurat, etika dan tata krama sebagai 'anak wedok', pergaulan dengan teman lelaki, sampai 'perhiasan' perempuan yang harus dengan hati-hati dijaga.

Sampai pernah berpikir, saya ga ingin punya anak perempuan. Tapi, yaa anak itu rezeki, amanah dari Allah, apapun yang diberikan pasti saya akan bersyukur karena itu anugerah. Dan kalau saya punya anak perempuan, pasti saya akan bersikap sama dengan apa yang ibu saya lakukan kini, karena saya sayang anak perempuan saya :)

Minggu, 27 Juli 2014

Rintihan Reni

Saat Reni meminta Aldi untuk membuktikan cintanya pada Reni, Aldi hanya terdiam. Terdiam beberapa saat sampai berkata, aku menyerah, aku tidak mencintaimu lagi. Seketika itu juga tubuh Reni lemas dan terjatuh. Air mata menyusuri pipinya hingga jatuh ke lantai. "Jadi apa arti dari yang selama ini kita perjuangkan Al? Kamu lupa komitmen kita? Kamu lupa cita-cita kita untuk menikah tahun depan? Aku harus bilang apa ke kedua orang tuaku?"rintih Reni.

"Maafkan aku Ren, tiba-tiba aku sangat takut untuk melanjutkan hubungan ini, hubungan yang seumur hidup hanya mau aku lakukan sekali dan selamanya. Aku takut nantinya kita malah bercerai Ren. Hubungan yang dari awal dimulai dengan ragu-ragu, siapa yang bisa menebak endingnya?"jawab Aldi.

"Pasti ada wanita lain kan? Tidak mungkin kamu berubah secepat ini. Lalu apa artinya semua yang telah aku berikan ke kamu? Kamu minta semuanya, aku percaya kamu, aku berikan semuanya. Sekarang aku tak punya yang bisa aku banggakan lagi sebagai perempuan, hadiah untuk suamiku. Kamu bejat Al!"teriak Reni.

"Kejadian itu berlangsung begitu saja Ren, maafkan aku. Kamu pasti juga menikmatinya saat itu. Maaf Ren."

Reni hanya bisa menyesal dan menangis sesenggukan, jawaban Aldi sungguh mengiris-iris perasaannya, menusuk palung terdalam hatinya. "Lalu hadiah apa yang pantas aku berikan untuk suamiku nanti, jika hadiah terindah untuknya dariku telah aku berikan pada mantan calon suamiku? Adakah yang masih mau menerimaku?" Reni dalam rintihnya, sebuah penyesalan terdalam hidupnya.

Jumat, 25 Juli 2014

Siapa Sangka itu jadi Nafasnya yang Terakhir

Ini sudah yg keempat kalinya ibu Laksmi anfal sejak serangan stroke pertamanya 8 bulan lalu. Meski tak ada Bapak di dekatnya karena sedang bekerja di Medan, Laksmi sudah terbiasa menghadapi hal ini. Ibunya kejang-kejang, lalu Laksmi bergegas menelepon ambulance untuk segera membawa ibunya ke rumah sakit.

Ibu Laksmi segera mendapat perawatan di ruang IGD, dipasangi alat bantu pernafasan dan peralatan medis lainnya. Usai pasien tenang dan tindakan penyelamatan selesai dilakukan, ibu Laksmi kembali mendapat perawatan di ruang ICU, lagi, untuk yg keempat kalinya. Tanpa Bapak di sampingnya, sambil menenangkan Ika, adik perempuannya yg masih SMP, Laksmi sudah sangat kuat melewati fase ini.

Ini sudah kali keempat Ibu Laksmi anfal. Serangan stroke pertama menyebabkan badan ibunya lumpuh dan hanya bisa melakukan aktifitas di atas kasur. Laksmi dengan sangat telaten merawat ibunya. Menyuapi ibunya makan, memandikan, sampai membersihkan kotoran di diapers ibunya. Mengajak ibunya ngobrol meski jawaban ibunya selalu ngalor ngidul.

Anfal kedua terjadi setelah ibu Laksmi tersedak makanan, lalu kejang dan kembali ke ruang ICU rumah sakit. Sepulang dari rumah sakit, ibu Laksmi tak lagi bisa bicara, mengunyah makanan pun tak bisa. Alhasil dengan menggunakan selang cairan yg menghubungkan hidung dengan kerongkongan, sumber makanan yg berupa cairan bagi ibu Laksmi itu dimasukkan. Sedih dan tak tega melihatnya, tapi bahkan Laksmi sanggup menggantikan selang makanan itu sendiri, seminggu sekali.

Selain masalah makanan, masalah kotoran pasien pun menjadi kendala sendiri. Diapers lembab yg digunakan 24 jam sehari itu membuat kulit bokong dan punggung ibu Laksmi luka-luka. Pedih dan perih, maka untuk mengurangi luka di kulit punggung dan bokong, dipasanglah kateter sebagai selang pembuang urin yg dimasukkan ke dalam alat vital ibunya. Sakit, pasti!

Anfal ketiga kembali terjadi, kembali masuk ke ICU dan sepulang dari rumah sakit, tak banyak yg berubah. Kondisi ibu Laksmi masih sama, lumpuh, tak bisa berkomunikasi, dipasangi selang makanan di lubang hidung, dan selang kateter di alat kelaminnya.

Ini sudah yg ke empat kalinya ibu Laksmi di ICU. Menjaga ibunya sendirian sudah menjadi rutinitas Laksmi. Ika yg masih SMP jarang mengunjungi ibunya karena harus sekolah. Hari itu pun Ika harusnya menerima Rapor, tak ada perwakilan orang tua yg bisa mengambilkan, Bapaknya masih bekerja di Medan, Ibunya sakit dan terbaring di ruang ICU, kakaknya Laksmi harus menemani ibunya sendirian.

Di dalam ruang ICU bukan Laksmi tak memikirkan nasib Rapor adiknya yg blm diambil. Dia sedang berusaha meminta tolong pada teman dekatnya untuk bisa mengambil rapor adiknya dulu. Akhirnya, Mita teman dekat dan juga tetangga Laksmi bersedia mengambilkan Rapor Ika dan setelah itu mengantar Ika ke rumah sakit.

Laksmi memandangi wajah dan tubuh ibunya. Bibir ibunya terlihat kering dan mengeluarkan darah. Di lapnya bibir ibunya dengan lembut dan perlahan menggunakan tisue. 'Uhuuk," ibunya terbatuk, Laksmi dengan lekas mengambilkan sesendok air putih untuk disuapkan ke ibunya. "Uhuuk," ibunya batuk yg kedua kalinya. Dipandanginya tubuh ibunya, tak lagi bergerak, bahkan tak ada nafas.

Laksmi yg panik segera memanggil perawat yg selalu berjaga di ruang ICU. Mita yg mengetahui ada yg tak beres segera menyusul Laksmi ke dlm ruang ICU. Dilihatnya Laksmi sedang menangis, dan dilihatnya ibu Laksmi sedang diberi berbagai tindakan untuk mengembalikan nafas ibu Laksmi. 15 menit tim dokter dan paramedis berusaha keras, namun hasilnya nihil. Laksmi yg panik dan shock segera keluar dari ruang ICU dan berteriak-teriak, tak yakin bahwa ibunya telah menghembuskan nafas yang terakhir. Ika menyadari bahwa ibunya kini telah tiada segera berlari dan meneluk Laksmi, mereka berdua menangis sejadi-jadinya. "Mbak Laksmi gak nyangka kalo batuk tadi jadi nafas ibu yg terakhir dek," tutur Laksmi terbata-bata pada Ika.

hello world :)

Baru membuka lagi blog yg usang ini. Membaca lagi tulisan-tulisan lama. Baru satu paragraf membaca, diri sendiri merasa, "gila childish banget tulisan gw dulu".
Semoga sekarang km sudah berubah ya Rin, semakin dewasa karena pelajaran-pelajaran hidup yg kemarin. Menjadi dewasa karena memang kamu harus lebih dewasa lagi. Umurmu tak lagi muda, tanggung jawab makin besar ke depannya. Dan tetap jadi diri sendiri, karena aku yakin, kamu akan lebih nyaman dengan hal itu :)
*self note